Sabtu, 14 Maret 2015

Kisah Santri Kecil dan hantu Gendruwo

tersebutlah seorang santri kecil bernama Zaid, ia baru permulaan mengaji, dan baru satu do'a yang dia hapal, yaitu do'a mau makan 
ketika pulang mengaji ba'da isya di tengah perjalanan pulang dihadang oleh hantu gendruwo yang nampak besar dan mengerikan
refleks Zaid langsung membaca do'a yang dia hapal "Allohumma bariklana fiimaa rozaqtana waqina 'adzabannaar, amiin"
efeknya luar biasa ...
hantu gendruwo ketakutaan, dan menghilang, kemudian sang hantu menghadap komandannya, memberikan laporan hasil kerjanya:
"lapor komandan, saya kapok menakuti manusia, manusia sekarang sdh semakin berani, bahkan seorang anak kecil saja hendak memakanku , tadi"

kisah anakan elang dan anakan ayam

suatu ketika seorang petani mengambil 1 butir telur elang dari sarangnya, kemudian menggabungkannya ke sarang telur ayam di rumahnya. Hingga menetaslah menjadi elang kecil yang bersama dengan ayam ayam kecil, dan diasuh oleh indukan ayam. Hingga elang kecil itu tumbuh menjadi elang remaja, sebutlah namanya elang remaja "A", ia tetap seperti ayam, tidak bisa terbang tinggi dan mencari makan dengan menceker-cekerkan kakinya mengais mencari binatang kecil di tanah dan semak-semak. suatu ketika seekor elang remaja "B" mendatangi sekelompok ayam yang terdapat elang remaja "A" di situ, elang "B" heran mengapa ada temanku cara hidupnya seperti ayam? disadarkannya elang "A" bahwa dirinya adalah elang, bukan ayam , elang yang dapat terbang tinggi ke mana-mana, diajarkannya cara terbang tinggi dan mencari makan di hutan lain yang luas tak terbatas. berkat bimbingan elang "B" maka kini elang "A" menjadi elang yang benar-benar elang. Elang dengan segala potensi dan bakat elang yang sesungguhnya setelah sekian lama salah asuhan dalam indukan ayam.
Semoga sekolah-sekolah di Indonesia bukan menjadi "indukan ayam" yang mengasuh generasi muda "elang" yang penuh potensi luar biasa.

menjadi guru adalah pengabdian

BAB I
PENDAHULUAN

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (UU No 14 Th 2005 Tentang Guru dan Dosen Bab I pasal 1 ayat 1 dan 4).
Pengabdian mengandung makna bekerja keras dengan sungguh-sungguh, ikhlas, rela berkorban, dan yakin akan adanya pahala dari Tuhan Yang Maha Kuasa atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Pengabdian diwujudkan dengan semangat dan dedikasi yang tinggi, serta tidak mengenal putus asa untuk mencapai tujuan pengabdiannya itu.
Berprestasi adalah berproses dan berhasil lebih baik dan lebih berkualitas, lebih dari yang biasa-biasa saja. Prestasi diukur dan dinilai oleh orang lain, masyarakat, atau lembaga, sesuai dengan hasil pengamatan yang obyektif berdasarkan kaidah-kaidah penilaian prestasi yang telah disepakati atau ditetapkan.
Kebanggaan adalah kepuasan batin terhadap prestasi kerja yang telah dicapai, yang telah sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran pribadi yang diyakini dan sesuai dengan yang dicita-citakan. Kebanggaan berbeda dengan kesombongan. Kebanggaan dimaknai sebagai rasa bersyukur atas kerja keras yang telah mencapai hasil, sedangkan kesombongan bermakna menganggap diri paling hebat dan meremehkan orang lain.
Guru dalam mengabdi di dunia pendidikan haruslah memahami dan menyadari betul akan pendidikan macam apa yang sedang diperjuangkannya. Pendidikan yang benar-benar bermanfaat bagi peserta didik dan lingkungan hidupnya, berguna masa depan diri dan bangsanya.
Tinggi rendahnya prestasi kinerja guru tidak hanya diukur dengan tinggi rendahnya ketercapaian Tujuan Pendidikan Nasional, namun secara kualitatif juga harus diukur dengan tinggi rendahnya ketercapaian tujuan hakikat pendidikan yang sebenarnya yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan pendidikan yang memfungsikan manusia sebagai subyek terwujudnya rahmat bagi seluruh alam.

BAB II
PEMBAHASAN


1.   Pengabdian Guru dan Filsafat Pendidikan Kritis

Pemahaman dan pemilihan yang benar akan filsafat pendidikan akan menjadi pedoman guru dalam melaksanakan tugas pengabdiannya untuk meminimalisir kemubadziran usaha-usaha pendidikan, dan menghindari ketidakjelasan arah tujuan pendidikan.
Paulo Freire, seorang ahli, mahaguru, Sejarah dan Filsafat Pendidikan di Universitas Recife, Brazilia mempunyai pandangan mengenai filsafat pendidikan yang pantas untuk dijadikan referensi oleh kita sebagai guru, melengkapi teori-teori filsafat pendidikan kita yang lain. Beliau lahir di kota Recife Brazilia tahun 1912, meraih gelar doktor pendidikan pada tahun 1959, menjadi konsultan UNESCO di Chili tahun 1969, dan menjadi Guru Besar Tamu di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness), kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana dijelaskan sebagai berikut:

a.    Kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu memahami kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka oleh Freire disebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan dalam masyarakat. Murid secara dogmatik menerima “kebenaran” dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami “makna” ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.

b.   Kesadaran naif. Kesadaran ini lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini “etika”, kreatifitas, dan “need for achievement”  dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena “salah” masyarakat sendiri, yakni merka malas, tidak memiliki jiwa wiraswasta, atau tidak memiliki budaya “membangun” dan seterusnya. Oleh karena itu, menurut kesadaran naif ini, “man power development”  adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem yang sudah ada, dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor “given” dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan (menurut kesadaran naif) adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.

c.    Kesadaran kritis, Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktursebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya, dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi “ketidakadilan” dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaiman mentransformasikannya. Transformasi yang dimaksud adalah suatu proses penciptaan hubungan (sistemik dan struktural) secara fundamental baru dan lebih baik.

Agar tujuan pendidikan dapat berhasil dan pengabdian guru tidak mubadzir, maka diperlukan sebuah kesadaran bersama bahwa sistem pendidikan berada di dalam sistem yang lebih besar yaitu sistem kehidupan, yang mana sistem kehidupan itu terdiri dari kebudayaan, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Sistem pendidikan tidak dapat dikelola secara terpisah dari sistem kehidupan, artinya kondusifitas politik, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Implementasinya dalam dunia pendidikan adalah membelajarkan peserta didik untuk mengamati, mempertanyakan, menganalisa, menyimpulkan, kemudian beraksi untuk memperbaiki sistem dan struktur kehidupan. Secara praktis dan sederhana, apabila guru di sekolah membelajarkan karakter dan budi pekerti luhur, maka guru dan masyarakat sekitar sekolah juga harus mendukungnya dengan cara memberantas semua aktifitas masyarakat yang bertentangan dengan karakter dan budi pekerti luhur. Apabila guru di sekolah membelajarkan etos kerja dan disiplin, maka guru dan masyarakat sekitar juga harus dapat menjadi teladan etos kerja dan disiplin.


2.   Pengabdian Guru dan Era Informasi

Sengaja dipilih kata “era informasi” karena terasa lebih akrab di telinga kita, walaupun kita sekarang sudah berada di kelanjutan era informasi yaitu era konseptual. Ada pepatah mengatakan “merasa hidup di jaman batu, membuat kita merasa sudah serba tahu”. Pengabdian guru tanpa diimbangi dengan usaha guru yang sungguh-sungguh untuk selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya akan memunculkan masalah baru, di mana guru malah menjadi masalah pendidikan itu sendiri, dan guru tidak dapat menjadi subyek pembaharu pendidikan.
          Daniel H. Pink dalam buku “A Whole New Mind”  (2006) telah menggambarkan era kehidupan seperti berikut :


Kita telah bergerak maju dari sebuah masyarakat petani (era agrikultur) kepada masyarakat pekerja pabrik (era industri), ke suatu masyarakat pekerja pengetahuan (era informasi). Dan sekarang kita sedang bergerak maju sekali lagi ke sebuah masyarakat pencipta dan pemberi simpati, pengidentifikasi pola dan pembuat makna (era konseptual). Kejadian terkini dari pola ini adalah transisi dari era informasi menuju era konseptual yang didorong oleh melimpahnya kekayaan kehidupan Barat, kemajuan teknologi, dan globalisasi (tipe-tipe pekerjaan pengetahuan tertentu yang berpindah ke Asia).
Pada Era Konseptual, kita perlu melengkapi penalaran yang diarahkan otak kiri kita dengan menguasai enam kecerdasan penting yang diarahkan oleh otak kanan. Secara bersama-sama, enam kecerdasan high concept, high touch ini dapat membantu mengembangkan sebuah pikiran yang benar-benar baru yang dituntut oleh era baru ini.
1.   Tidak hanya fungsi tetapi juga DISAIN. Tidaklah lagi memadai untuk menciptakan sebuah produk, jasa, pengalaman, atau gaya hidup yang semata-mata fungsional. Saat ini adalah saat yang secara ekonomi penting dan berharga secara personal untuk menciptakan sesuatu yang indah, sendikit fantastis, dan menarik secara emosional.
2.   Tidak hanya argumen namun juga CERITA. Ketika hidup kita penuh dengan informasi dan data, mengumpulkan argumen yang efektif tidaklah memadai. Seseorang entah dimana pun juga pasti maksud anda. Esensi dari persuasi, komunikasi, dan pemahaman
-diri telah menjadi suatu kemampuan juga untuk menciptakan suatu kisah yang menarik.
3.  Tidak hanya fokus tetapi juga SIMPONI. Banyak dari Era-era Industri dan Informasi membutuhkan dokus dan spesialisasi. Namun ketika pekerjaan kerah-putih dialihkan ke Asia dan direduksi ke dalam software, ada sebuah penghargaan terhadap kecerdasan sebaliknya:  menggabungkan bagian-bagian, atau apa yang saya sebut Simponi. Apa yang menjadi permintaan terbesar saat ini bukanlah analisa namun sintesa melihat keseluruhan perspektif, melintasi batasan-batasan, dan dapat mengkombinasikan bagian-bagian terpisah ke dalam satu kesatuan baru yang mengesankan.
4.   Tidak hanya logika tetapi juga EMPATI.  Kapasitas untuk pemikiran yang logis adalah salah satu hal yang membuat kita menjadi manusia. Namun dalam sebuah dumia yang penuh dengan informasi yang menyebar dan alat-alat analitis yang maju, logika sendiri tidaklah bisa. Apa yang akan membedakan mereka yang berkembang dengan cepat boleh jadi kemampuan mereka untuk memahami apa yang membuat teman laki-laki atau perempuan bergerak, untuk mempererat hubungan, dan peduli kepada orang lain. I
5. Tidak hanya keseriusan namun juga PERMAINAN. Bukti yang cukup menunjukkan kepada kesehatan yang besar dan keuntungan-keutungan profesional dari ketawa, bersikap tenang, permainan, dan humor. Tentu saja, ada saatnya untuk serius. Namun begitu banyak keseriusan mungkin tidak baik juga untuk karir anda dan buruk bagi kesejahteraan anda. Dalam Era Konseptual, dalam pekerjaan dan kehidupan, kita semua perlu bermain.
6.   Tidak hanya akumulasi tetapi juga MAKNA. Kita hidup dalam sebuah duia yang berisi kelimpahan materi yang menarik. Itu telah membebaskan ratusan juga orang dari perjuangan sehari-hari dan membebaskan kita untuk mengejar kesenangan-kesenangan yang lebih bermakna: tujuan, transendensi, dan pemenuhan spiritual.

Disain. Cerita. Simponi. Empati. Permainan. Makna. Enam kecerdasan ini akan semakin membimbing kehidupan kita dan membentuk dunia kita. Sebagian dari anda pasti menyambut perubahan tersebut. Namun bagi sebagian anda, visi ini mungkin  mengerikan –pengambilalihan kehidupan biasa yang tidak ramah oleh segerombolan orang yang tidak tulus dalam jubah-jubah hitam yang akan meninggalkan orang yang sok artistik dan berperasaan. Jangan takut. Kemampuan-kemampuan high concept, high touch yang sangat penting secara fundamental adalah atribut-atribut manusia. Bagaimana pun juga, kembali kepada padang rumput yang sangat luas, nenek moyang kita yang menghuni gua tersebut tidak mengambil SAT atau mengisi angka-angka ke dalam lembaran-lembaran. Namun mereka menceritakan kisah-kisah, sembari memperlihatkan empati, dan merancang motif-motif. Kemampuan-kemampuan ini selalu mencakup bagian dari apa yang bermakna untuk menjadi manusia. Namun setelah beberapa generasi di Era Informasi, otot-otot ini mengalami atropia. Tantangannya adalah mengerjakannya kembali kepada bentuknya yang baik. (Itulah gagasan di balik bagian Portofolio pada akhir dari masing-masing bab. Kumpulan alat, latihan, dan bahan-bahan bacaan akan mendorong mengembangkan sebuah pikiran baru yang utuh). Siapa pun dapat menguasai kecerdasan-kecerdasan Era Konseptual. Namun mereka yang menguasainya pertama-tama akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Oleh karena itu, mari kita mulai.